Rabu, 12 Juni 2013

KASUS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


Bedah Kasus Konsumen Fidusia

Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini . Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses jual -beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketika konsumen tidak mampu membayar kredit motor , yang membuat erusahaan mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung . Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia , dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya . Sementara klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen .

Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini :

Kasus Posisi LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam , selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT . AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut . Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp . 2 .000 .000 , – kepada PT . AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (perangsuran sebesar Rp. 408 .000 , -) . Namun ternyata pada cicilan ke tujuh , konsumen terlambat melakukan angsuran , akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT . AF .

Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ( LPKSM ) Bojonegoro . Kemudian karena tidak mampu melakukan pembayaran , maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan. Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT . AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan .

Penanganan Kasus

Menyikapi kasus fidusia tersebut , BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro ,untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak terkait . Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia , sebagai berikut:

1 . Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumen mencermatinya , terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No .8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ( UUPK) diantaranya sebagai berikut:
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yang dibeli konsumen ;
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai , atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
 Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas , atau yang pengungkapannya sulit dimengerti . Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2 . Pendaftaran Jaminan Fidusia
PT . AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia , sebagaimana diamanatkan dalam UU No . 42 Tahun 1999. Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa ( akta dibawah tangan ) . Bila jaminan fidusia terdaftar , PT . AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi ) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar , berarti PT . AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren , yang harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain .

3 . Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran , namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh . Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen ) dan sebagian hak milik kreditor .

Tips bagi Konsumen

Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan . Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:

1 . Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu.
2 . konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama mengenai:
1.       hak -hak dan kewajiban para pihak
2.       kapan perjanjian itu jatuh tempo ;
3.       akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya ( wanprestasi )
3 . Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF , serta merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut .
4 . Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak -haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Kesimpulan:
Jadi dalam hal ini perlu adanya pengetahuan konsumen tentang pembelian barang secara kredit, karena konsumen wajib mengetahui prosedur yang berlaku dalam hal tersebut baik mengenai kewajiban konsumen seperti membayar tepat waktu maupun hak konsumen atas barang tersebut. Sehingga dapat dicegahnya kejadian seperti kasus diatas.


Kamis, 06 Juni 2013

Tugas Aspek Hukum Dalam Ekonomi (Bab 11, 12,13,14)

BAB 11
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

1.      Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.

2.      Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip hak kekayaan intelektual antara lain sebagai berikut :
§  Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan yang disebut hak.
§  Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Nilai ekonomi pada HAKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptanya.
§  Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument) berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.
§  Prinsip Sosial (The Social Argument) berdasarkan prinsip ini, sistem HAKI memberikan perlindungan kepada pensipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat.

3.      Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO, HAKI dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
§  Hak Cipta ( copyrights)
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap.
§  Hak Kekayaan Industri ( industrial property rights )
Hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :
a.  hak paten
b.  merk dagang
c.  hak desain industri
d.  hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit)
e.  rahasia dagang
f.  varietas tanaman

4.      Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dasar hukum hak kekayaan intelektual di indonesia diatur dalam undang-undang antara lain sebagai berikut :
a.   UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
b.   UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
c.   UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
d.   UU Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
e.   UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
f.    UU Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
g.   UU Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Varietas Tanaman

5.      Hak Cipta
Hak cipta adalah hak bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.      Hak Paten
Hak paten adalah hak yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.

7.      Hak Merk
Hak merk adalah hak untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu.hak yang membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.

8.      Desain Industri
Desain Industri berguna untuk berbagai produk industri dan kerajinan antara lain bisa peralatan rumah tangga, peralatan listrik, peralatan elektronik, jam tangan (aksesoris) dan lain sebagainya. Dalam desain industri membantu untuk mengelola berbagai macam perlatan serta memudahkan berbagai macam cara.

9.      Rahasia Dagang
Rahasia dagang merupakan rahasia tersendiri bagi para pengusaha ataupun perusahaan dalam menjalankan bisnisnya sendiri. Didalam perusahan ataupun pengusaha rahasia dagang merupakan hal terpenting yang tidak boleh orang lain tau tentang ini bisa berupa produk yang mereka gunakan ataupun macam jenis lainnya.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/komsumen
http://nuryana26.wordpress.com/2012/05/15/hal-kekayaan-inteletual-haki/



BAB 12
Perlindungan Konsumen

1.      Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen .

2.      Asas dan Tujuan Konsumen
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah: 
  •  Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen  untuk melindungi diri.
  • Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang atau jasa.
  • Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
  • -          Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
  • -          Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
  • -          Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
a.   Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b.   Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c.   Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
d.   Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.   Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

3.   Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
-                   Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
-                  Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan  
            nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
-                Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
-                Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
-                Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan   
           konsumen secara patut.
-                Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
-                Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
-            Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
-                Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:
1.      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


4.   Hak dan Kewajiban Pelaku usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3.      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
5.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.      Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
5.      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat dan yang diperdagangkan.
6.      Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
7.      Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

5.   Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9-16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, atau seolah-olah:
1.      Barang tersebut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2.      Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru.
3.      Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
4.      Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
5.      Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
6.      Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7.      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8.      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
9.      Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
10.  Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
11.  Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1.      Harga atau tarif suatu barang atau jasa.
2.      Kegunaan suatu barang atau jasa.
3.      Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
4.      Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
5.      Bahaya penggunaan barang atau jasa.

6.    Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu harus mernegosiasikan syarat dan ketentuannya.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian, antara lain :
a)      Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b)      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c)      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen.
d)     Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsurang.
e)      Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f)       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g)      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h)      Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

7.   Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Didalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.   Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
b.   Cacat barang timbul pada kemudian hari
c.   Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
d.   Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e.    Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
 
8.   Sanksi
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-          Pengembalian uang
-          Penggantian barang
-          Perawatan kesehatan
-          Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-          Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-          Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

Sumber :

BAB 13
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.         Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.

 2.   Azas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

3.   Kegiatan yang dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1.   Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

2.    Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

3.     Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.    menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
b.   menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
c.   membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
d.   melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4.    Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).

5.    Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.

6.    Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

7.    Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

8.    Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.

4.   Perjanjian yang dilarang
1.   Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2.    Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a.         Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
b.   Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c.         Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d.   Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3.     Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4.     Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5.     Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

6.     Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

7.     Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

8.     Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9.     Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

10.   Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5.   Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Perjanjian yang dikecualikan
a. Hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cipta
b. Waralaba
c. Standar teknis produk barang dan atau jasa
d. Keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
e. Kerjasama pnelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
f. Perjanjian internasional

Perbuatan yang dikecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha yang tergplong dalam pelaku usaha
b. Kegiatan usaha koperasi uang khusus melayani anggotanya

Pebuatan dan atau perjanjian yang diperkecualikan
a. Pebuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan UU
b. Pebuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor

6.   Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
  1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang dan jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
  2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
  3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

7.   Sanksi
Apabila importir tersebut terbukti melakukan kartel atau kecurangan lain, maka akan dikenakan sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa denda dan atau sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Sumber :


BAB 14
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

1.   Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

2.   Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB:
·         Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
·         Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
·         Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

3.   Negosiasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.

4.   Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

5.   Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
6.  Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
·         Perundingan: merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.
·         Arbitrase: Kekuasaan untuk menyelesaiakan suatu perkara menurut kebijaksanaan.
·         Ligitasi: Proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Jadi perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang bertikai. Kedua ialah ke jalan Arbitrase, ini digunakan jika kedua belah pihak tidak bisa menyelesaiakan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak ketiga, oleh sebab itu mereka memutuhkan hukum atau pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.


Sumber: